9.02.2015

Menapakan Kaki di Benua Biru

Benua Asa Part 2


"Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman.
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang.
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan.
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang." ~ Imam Syafi'i


Masih segar dalam ingatanku ketika aku meninggalkan rumah kala itu. Pun masih teringat beberapa minggu sebelumnya, saat kepalaku berada di pangkuan mbah putri-ku. Tepatnya di kursi dapur, beliau duduk sambil mengelus-elus kepalaku.

"Ojo sedih maneh, Nduk. InsyaAllah Alfi isa dadi anak sholehah koq. Besok insyaAllah bisa nyenengke Mbah." 
("Jangan sedih lagi, Nak. Insyaallah Alfi bisa jadi anak yang sholehah koq. Besok insyaAllah bisa menyenangkan Mbah.")

Ucapnya lirih dengan terus mengelusku.

Entah apa yang terjadi denganku saat itu aku pun tak tahu. Sungguh. Aku hanya ingat bagaimana malam sebelumnya aku pulang tengah malam dari Jakarta seorang diri untuk mengurus semua keperluan beasiswa dan visaku. Aku bergegas ke rumah simbah.  Dengan baju yang masih belum diganti, serta tas yang masih berada di punggung, tiba-tiba bergegas pula aku memeluknya erat-erat saat kutemui beliau di kamarnya.

"Alfi pengen jadi anak sholehah, Mbah. Alfi pengen bisa nyenengke Mbah."

Seakan mengiba aku menyampaikan kalimat itu pada simbahku pelan-pelan, dengan tangan yang terus erat memeluknya....



Senjata Doa

Aku hanya tahu bagaimana keinginan ini begitu membara, ingin membahagiakan mbahku yang sudah tak muda lagi. Aku ingin memberi hadiah terindah padanya untuk semua andil beliau atas semua berkah yang aku dapatkan selama ini. Doanya mustajab, tak kalah mustajab dengan doa ibuku. Kesederhanaan membawanya pada ketawadhu'an. Ibadahnya adalah senjatanya. Senjata yang telah menemani anak cucunya mencapai cita-cita hidup. Senjata yang juga turut serta mempermudah langkahku. Aku yakin bahwa doa dari orang-orang terdekatku seperti beliau inilah yang telah membuat blessing dari Allah itu nyata adanya.

Aku teringat saat profesorku - orang Jerman - yang memberiku surat rekomendasi beasiswa, di saat kami belum pernah bertemu sebelumnya, hanya obrolan lewat email yang terus saling membalas, dan hanya lewat teleconference via skype, juga kualifikasi curriculum vitae-lah beliau mengenalku. Pun salah satunya karena jasa beliaulah akhirnya aku mendapatkan beasiswa.

Aku teringat bagaimana perjalananku mencari sebuah tempat mengurus dokumen untuk keperluan kuliahku di kampus Italia. Pun berakhir dengan gratis khusus dari para petugasnya, saat yang lain harus membayar sekian juta untuk mendapatkannya.

Aku teringat pula bagaimana aku mendapatkan visa hanya dalam kurun waktu kurang genap dari 3 minggu padahal secara normal pengaju visa lain harus menunggu sampai berbulan-bulan.

Aku teringat saat visaku keluar pukul tiga sore, padahal hari itu pukul 6 sore aku harus sudah check-in di Bandara Soekarno-Hatta. Ini adalah salah satu hal "tergila" dalam seumur hidupku. Pun akhirnya aku bisa sampai di pesawat tepat waktu.

Dan banyak hal lain yang "ajaib" yang tidak bisa aku ceritakan. Semua ini mudah terjadi bagi Allah. Ya, ini kubilang keajaiban. 


Nikmat Tuhan yang Tak Terdustakan



Belum pernah aku merasakan ini sebelumnya. Sekalinya merasakan Allah melemparku ke tempat yang jauh sekalian, sesuai tujuanku. Aku menempuh rute perjalanan Jakarta - Doha - Frankfurt - Leipzig - Dresden seorang diri. Aku teringat bagaimana Allah mempertemukanku dengan sepasang suami istri dari Indonesia saat transit di bandara Doha, Qatar. Mereka datang tepat ketika aku duduk sendirian menunggu waktu di sudut bandara.

Aku teringat bagaimana sesampainya aku di bandara Frankfurt selalu saja ada orang yang menawarkan bantuan untuk mengangkat koperku yang berat. Aku teringat bagaimana dinginnya cuaca saat itu yang sudah memasuki winter. Aku beranikan diri sholat di salah satu sudut stasiun yang sepi. Ya, itu sholat pertamaku di Jerman di tempat umum.


Meski jaket sudah tebal, tapi sejujurnya aku masih merasa sangat menggigil. Aku duduk sendirian dengan menahan rasa dingin. Aku tundukan kepala dan kubaca zikir Al-Ma'tsurat untuk menemaniku dan mengusir rasa dingin. Aku juga teringat bagaimana di dalam kereta seorang anak kecil berbisik-bisik pada ayah dan keluarganya. Entah ada apa denganku sehingga mereka semua menoleh ke arahku. Ternyata mereka menemukan diri ini dalam keadaan pipi yang basah dengan buku zikir kecil di tangan yang sedang aku baca.

Awal perjalanan dari Indonesia semua terasa hambar, sedih tidak, senang pun juga tidak, seakan tak merasakan euforia seperti kebanyakan orang saat pertama kali ke Eropa. Tapi harus kuakui, aku merasa terharu dengan semua keajaiban yang Allah berikan. Hingga tak sadarkan diri aku meneteskan air mata saat di kereta kala itu. Segera kuusap dan kupalingkan muka ke arah jendela, seakan menunjukan dan berkata pada si anak kecil itu - "Aku nggak kenapa-napa, Dik." - walau sebetulnya mata masih terus berkaca-kaca, dan lagi, air mata menetes, bukti tak henti-hentinya hati ini berucap syukur.


Tepat, Tak Lebih

Menuju Dresden, salah gerbong. Nampaknya semua baik-baik saja, tapi rupanya setelah sekian lama duduk di kursi kereta yang begitu nyaman, ditemani obrolan dengan sepasang suami istri dari Brazil, ternyata salah tempat. Rupanya aku duduk di gerbong VIP. Aku khilaf karna tak tahu. Tak seharusnya duduk di tempat itu, karna tiketku adalah tiket biasa. Aku tersadar saat seorang bapak pemeriksa tiket datang dan mengatakan padaku tentang posisi seharusnya. Tapi sekali lagi, Allah berbaik hati, si bapak petugas tak marah, malah dengan ramahnya mempersilakan duduk di kursi tersebut saja sampai Dresden, tak perlu pindah.

Dan 19 November 2013, saat di mana hari itu adalah deadline hari terakhirku untuk sampai di Dresden, tak boleh lebih, begitu kata International Office kampus TU Dresden dalam suratnya padaku. Meski hari sudah cukup petang, Allah mengijinkanku untuk sampai tepat di tanggal tersebut, dan tak lebih.

Aku berpikir semua ini benar-benar keajaiban. Allah itu ada. Dia bekerja lewat tangan-Nya untuk mengetuk dan menggerakan semua orang yang aku temui di perjalanan,  memberi kemudahan pada tiap langkah, mengatur tiap detik untukku agar waktu jangan terlalu cepat berlalu dan menyampaikanku di sini tidak lebih dari deadline terakhir. Sungguh, Allah itu ada.







Bersambung ....








The Previous Chapter:

Read Also:




2 September 2015
Nur Alfi Ekowati

5 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Alfi....akhirnya menemukanmu disini....

    BalasHapus
  3. Nyari2 aku ya, Mba? :D
    apa kabar, Mba Yash?

    BalasHapus
  4. Setelah sekian lama nemuin disini juga. 😃
    Semoga senantiasa dimudahkan dalam ibadahnya dengan Alloh SWT (Habluminalloh) dan ingatlah selalu surat Ar-Rahman yang mengingatkan kita akan nikmat yang sudah banyak Alloh SWT berikan untuk setiap hamba-Nya yang yakin dan istiqomah selalu mengingat dan dekat dengan-Nya (Al - Ma'tsurat). Aamiin aamiin aamiin ya robal'alamiin

    BalasHapus