5.01.2015

Sejengkal Antara Indonesia dan Eropa

Benua Asa Part 1


Ada Harga Mahal


Nduk, sing ngati-ati. Sing lurus lakune, ndek mengko dadi wong sukses. ”
(Nak, berhati-hatilah. Yang lurus jalannya, biar nanti bisa jadi orang sukses.)

Gendung…sing sehat, sing pinter yo. Mbah wis tuwo, nek isa ketemu Alfi maneh ya syukur, nek ora…sing ikhlas, ojo mikir Mbah terus. ”
(Nak…yang sehat, yang pinter ya. Mbah sudah tua, 90 tahun lebih, kalau bisa ketemu Alfi lagi ya syukur, kalau enggak….ya yang ikhlas, jangan mikir Mbah terus.)

Aku cium tangan satu per satu keluargaku. Simbah kakung -yang dengan tangan gemetarnya karna usia- memelukku erat-erat. Aku tahu Si Ibu merasa lebih kehilangan, tapi rupanya Ibu terlalu malu memperlihatkannya. Aku melihat mata-mata yang berkaca dari mereka, tertahan, tapi tak bisa dibohongi. Mungkin apa yang mereka rasakan sama dengan yang aku rasakan saat itu, tenggorokan yang sakit karna menahan apa yang seharusnya diekspresikan. Pakdeku berbeda, sempat terang-terangan meneteskan air mata di depanku, menceritakan masa-masa lalu yang pahit, juga harapan-harapannya untukku. Beliaulah salah satu orang yang paling mendukung aku untuk melangkah.

Aku bergegas keluar dari rumah. Rupanya ada sebuah taksi sudah terparkir di depan gang, sengaja dipesankan oleh pakde untukku. Tentu ini sangat bernilai buatku. Dengan tas dan koper seberat 40 kg yang pada beberapa bagiannya terlihat masih fresh hasil sulaman ibuku karna sudah tua dan sedikit sobek, aku masuk ke mobil taksi dengan lambaian tangan. Mereka tak bisa berbohong, aku melihat mereka masih memperhatikan taksi yang kutumpangi, meski sudah terlampau jauh taksi melaju. Satu yang tertinggal, aku tak sempat berpamitan dengan adik kecilku. Di jalan aku melihat dari balik jendela mobil, dia sedang bersepeda menuju rumah, membawa gula yang dibelinya dari warung, permintaan Si Ibu. Sayang, dia tak cukup mendengar suaraku memanggil namanya. Pasti dia akan kecewa mendapati Si Mbaknya sudah tidak ada di rumah….

Taksi terus melaju. Menjauh dan terus menjauh. Suasana hening. Hanya ada suara mesin mobil yang kudengar. Pikiranku melayang ke mana-mana, mengingat betapa tidak mudahnya semua yang harus kulalui sebelum ini.

Aku benci harus pergi keluar kota A, B, C, dan D saat weekend disaat teman-temanku yang lain mungkin sedang berbaring santai di atas kasur dengan gadgetnya. Aku benci harus tidur di stasiun X dan Z menunggu kereta. Aku benci tergopoh-gopoh bertanya alamat kesana-kemari. Aku benci harus berpura-pura sok cool menghadapi calo-calo preman di terminal Y. Aku benci harus menyaksikan seorang dari mereka membanting genggaman uang recehan ke lantai di depanku karna melihatku terlalu cuek. Aku benci harus berlari-lari di tengah malam hujan deras mengejar bus terakhir di terminal N. Aku benci melihat jari kakiku melepuh berpanasan di jalan raya di Jakarta. Aku benci harus terduduk lemas di depan gedung-gedung pencakar langit. Aku benci berjalan jauh dengan sesenggukan di tepi jalan raya metropolitan yang terik. Aku benci menjalani semuanya seorang diri. Aku benci.

Tapi aku lebih benci lagi menjadi orang yang bodoh dan tak berharga….

Maka langkah ini aku tempuh dengan peluh keringat yang bercucuran…serta bulir-bulir doa yang tiada terputus.

Mobil taksi terus melaju.


Purwokerto, sebuah kota yang tidak terlalu besar di Jawa Tengah. Damai dan tenang, itu kesan utama yang banyak orang bilang tentang kota ini. Begitupun dengan pendapatku, sama. Ibuku berasal dari kota ini, sedangkan bapak asli Surakarta. Meski demikian, logat bicaraku mengikuti logat Purwokerto, karna memang aku terlahir di sana. Karenanya di mana saja aku berada sepertinya aku punya kesan tersendiri di mata kawan-kawan sepergaulan. Terlebih dengan karakterku yang katanya unik. Sering menjadi topik untuk bercanda, menyenangkan. Ya, menyenangkan, karna bisa membuat orang bergelak tawa dan bahagia. Tapi, pernah juga mengalami hal sebaliknya, diejek, dianggap remeh. Rasanya? Sakit hati dan sedih. Tapi justru ini adalah ekspresi yang sempat menjadi penyesalanku. Tahu kenapa?

Tak seharusnya aku sedih, juga sakit hati yang berlebih. Karena sebenarnya ada banyak sekali hikmah yang bisa diambil dari peristiwa seperti itu, yang mungkin tidak akan bisa didapat oleh mereka yang terlampau kenyang dengan pujian dan sanjungan setiap waktu, yang pada akhirnya mungkin akan menjadikannya takabur. Aku jadi mampu belajar menjadi manusia yang lebih baik lagi. Aku jadi semakin kuat. Malu dan menyesal sekali rasanya, tak perlulah aku seperti itu lagi. Karena sebetulnya Allah sedang menunjukan bukti padaku bahwa Dia begitu sayang dengan diri ini, melebihi apa yang aku dan mereka sangkakan. Teriring doa yang baik untuk mereka yang sudah berbaik hati menyempatkan diri untuk “mengoreksi” apa yang kurang dari aku, pasti teriring.

Kawan, meski aku bukan anak gaul dari kota besar, tapi itu bukan berarti aku tak boleh bermimpi besar. Meski aku bukan dari keluarga yang kaya raya, tapi bukan berarti aku tak bisa kaya akan harapan-harapan. Aku punya hak yang sama dengan yang lainnya. Aku punya cita-cita. Aku punya impian. Aku punya tujuan hidup. Maka dengan segala niat yang cukup lama aku pupuk, aku pendam diam-diam sebuah asa, Eropa!

Eropa adalah salah satu mimpi dari sekian banyak impian dalam hidupku. Untuk mereka yang konglomerat, mungkin keluar negeri adalah hal yang biasa, bukan sesuatu yang perlu dibesarkan, atau bahkan dieluh-eluhkan, bukan. Tapi buatku, seorang anak kampung -yang bahkan di masa kecilnya beberapa detik saja melihat pesawat terbang di langit adalah hal yang menghebohkan- pergi keluar negeri menjadi sebuah cita-cita tersendiri. Lebih tepatnya aku ingin pergi merantau, hidup di luar negeri, mencari ilmu dan bekerja keras di sana. Dan Jerman adalah negara tujuan utamaku.


Menapakan kaki hingga sampai di sini perlu perjuangan, Kawan. Aku yakin semua orang Indonesia yang sampai di sini memerlukan perjuangan itu, termasuk mereka yang dari golongan kaya raya. Hanya bedanya mungkin mereka tak perlu terlalu pusing memikirkan materil uang untuk mencapai tempat ini. Sedangkan aku? Aku harus menabung sendiri untuk segala macam keperluan yang dibutuhkan, harus memutar otak agar bisa mencapai apa yang aku citakan. Mempersiapkan semuanya dari jauh-jauh hari, kalau-kalaulah saat itu akan benar-benar terjadi.

Hingga sebuah kesempatan itu datang di suatu hari. Aku mengenal seorang professor hebat di Jerman. Dan singkatnya, garis nasib bicara: aku mendapatkan beasiswa. Ya, beasiswa membawaku ke sini -ke Dresden- di tahun 2013. Alhamdulillah.


Maka sejatinya semua yang kuperlukan bukanlah semata-mata tentang uang.

Semacam hukum kausalitas, beasiswa hanyalah sebuah hasil, bonus, dan efek samping, yang mungkin saja kehadirannya datang dari arah, jalan, dan waktu yang tidak disangka-sangka. Sedangkan sikap mental, fisik, pikiran, dan doa yang kuat adalah caranya. Cara yang ditempuh. Cara yang bisa menggantikan posisi bermiliar-miliar dolar dari seorang konglomerat, yang tidak ada pada diriku saat itu, karna sadar aku bukanlah anak dari seorang konglomerat.

Maka kusampaikan, bahwa ada harga mahal yang harus dibayar jika ingin mencapai sesuatu yang baik, terlebih untuk sebuah masa depan….


Bersambung....




Nur Alfi Ekowati
Dresden, 1 Mei 2015

Images are from Google Image and Google Map.

0 komentar:

Posting Komentar